Toa: Belajar dari Abah KH. Abdul Aziz



(Opini)

Toa: Belajar dari Abah KH. Abdul Aziz


Saat nyantri di Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi Wal Amal Tulungagung, sangat tidak asing kami menggunakan toa dan speaker untuk pengeras suara, baik dalam hal ibadah lima waktu atau untuk pengajian kitab di serambi masjid. 


Sejurus hal ini, abah (KH. Abdul Aziz) mengajarkan agar toa masjid digunakan seperlunya. Hal yang paling saya ingat adalah saat Ramadhan, dimana para santri terus melakukan tadarus Quran di masjid. Namun Abah membatasi agar diwaktu orang istirahat tidak memakai toa luar, cukup speaker dalam saja. Karena sejatinya kita diajarkan untuk tidak membaca Quran hingga mengganggu orang tidur. 


Hal ini cukup merasuk dalam pikiran saya sebagai santri, dimana memang ibadah yang kita lakukan sejatinya tetap menentramkan yang lain. Tidak ada unsur mengganggu dan bahkan membuat resah. Betapa egoisnya kita, andai kita berjuang memuja tuhan, disaat yang sama kita malah merepotkan lian. 


Soal peraturan dari Kementerian Agama RI, saya kira cukuplah kita untuk melihat sisi positifnya. Hal yang belum diatur agar tetap menjadi maslahah yang perlu dibuat aturan. Dan sudah benar yang mengeluarkan peraturan adalah kementerian Agama, malah jadi masalah kalo yang mengeluarkan Kemenkumham atau bahkan Kementerian Pertanian RI. 


Pada level kebisingan toa yang saling sahut menyahut dengan gagahnya itu, bisa juga dianalogikan dengan kerasanya suara anjing-anjing yang menyalak dan menggonggong. 


Lantas apakah kita berfikir bahwa kerasanya suara toa masjid sangat tidak sopan dianalogikan dengan suara kerasnya anjing. Pada titik ini kita harus jujur bahwa suara hewan yang keras dan bisa menimbulkan gangguan secara umum ya suara Anjing. Beda dengan suara burung seperti murai batu, kacer meski keras tidak sampai menjadi pikiran khalayak, bahwa suara mereka bakal mengganggu. Poinya divolume yang keras ya, bukan pada apa yang disuarakan. Ini harus clear. 


Lantas, kalo kita bilang tidak pantas dianalogikan dengan Anjing. Takut saya, malah kita yang terjerumus dengan menganggap bahwa anjing adalah binatang rendah yang tak berguna. Bukankah ada anjing dalam Al-Quran, atau ia hewan yang bakal masuk surga. Atau minimal kita ingat bahwa ia juga makhluknya Gusti Allah. 


Sehingga, perlunya keadilan kita untuk merespon peraturan Gus Menteri ini. Bukan menjadi bahan gorengan yang renyah di luar dan kenyal macam cireng yang enak itu. 


Ahmad Yuzki Faridian N

Wakil Ketua PC GP Ansor Tulungagung

18 Comments

  1. Mantab ji.... La gitu biar imbang...

    ReplyDelete
  2. Sabar poro rawohh !! Pasti ujung²nya terbit klarifikasi dan minta maap😂

    ReplyDelete
  3. Saya sangat setuju dengan tanggapan bapak

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, sanget" setuju kale pendapate njenengan, mugi" sehat Amiin

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah,,siip bapak🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah...Barakallah fikum...

    ReplyDelete
  7. Sae sae, mugi bermanfaat & keluberan ngilmunipun

    ReplyDelete
  8. Setuju sekali dengan tanggapan bapak

    ReplyDelete
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    ReplyDelete
  10. Aku berlindung kepada Allah dari tipudaya apapun. Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Seburuk-buruk suara adzan tetaplah mulia karena hakikatnya mereka memanggil kita untuk sholat. Tidak ada panggilan seindah apapun di dunia ini selain panggilan menuju Allah. Sebaik baik suara gonggongan anjing tetaplah hewan. Kalau telinga kita sudah tidak mampu lagi membedakan mana suara adzan bersahutan dan suara gonggongan anjing, kalau telinga kita merasa terganggu dengan suara adzan yang bersahutan, maka perlu ditanya jangan-jangan telinga kita sudah tidak sehat.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post